Friday, November 12, 2010

Tipe Letusan Merapi Berubah


Tipe Letusan Merapi Berubah

Yogyakarta (ANTARA) - Gunung Merapi dinilai tipe letusannya kini berubah, dan yang menilai adalah seorang ahli vulkanologi dari Universitas Kyoto Jepang Masato Iguchi.

Ia mengatakan tipe letusan Merapi mengalami perubahan dibandingan dengan letusan sebelum 2006 yang ditandai dengan adanya pembentukan kubah lava. "Saya hingga kini belum mengetahui penyebab mengapa tipe letusan Gunung Merapi berubah, namun perubahan tipe letusan seperti ini sering terjadi di sejumlah gunung berapi lainnya, salah satunya gunung berapi di Jepang, Miyake Jima," katanya, di Yogyakarta, Jumat.

Sebelumnya, Direktur Penerangan dan kebudayaan Besar Jepang di Indonesia Masaki Tani mengatakan tiga ahli vulkanologi asal Jepang akan membantu melakukan survei kondisi bencana letusan Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Tiga vulkanolog itu, yakni Kenji Nogami (ahli di bidang "volcanic chemistry"), Masato Iguchi (ahli di bidang "physical vulcanology"), dan Takayuki Kaneko (ahli di bidang "volcano geology"). Selain itu ada ahli di bidang penyakit saluran pernapasan Satoru Ishii.

"Kami akan terus memberikan pendampingan dari sisi keilmuan kepada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral," kata Iguchi.

Gunung Miyake Jima di Jepang, kata dia, memiliki tipe erupsi yang sama yaitu meletus setiap 20 tahun sekali ditandai dengan keluarnya aliran lava, namun pada 2000 gunung tersebut meletus dengan membuat kaldera berdiameter satu kilometer, dan letusan besar dengan kolom asap setinggi 10 km.

"Perubahan itu disebabkan adanya pergerakan magma dalam volume yang cukup besar, namun belum bisa memastikan apakah hal itu juga terjadi di Gunung Merapi," kata Iguchi.

Mengenai pemasangan mikrofon infrasonik untuk Gunung Merapi, Icuchi mengatakan alat tersebut sangat efektif untuk memantau gunung ini karena terkadang puncak gunung ini diselimuti kabut, sehingga tidak terlihat adanya letusan, padahal kenyataannya gunung tersebut meletus.

Alat tersebut, kata dia akan dipasang di luar radius 20 kilometer dari puncak Merapi sesuai radius aman yang telah ditetapkan PVMBG, salah satunya di dekat Prambanan.

Tiga mikrofon infrasonik akan dipasang untuk mempertajam pantauan Gunung Merapi, sehingga PVMBG akan memperoleh gambaran aktivitas gunung itu lebih baik.

"Pengamat selama ini sering tidak mendengar letusan Gunung Merapi, meskipun sebenarnya gunung meletus sehingga dengan adanya mikrofon infrasonik maka akan diperoleh data lebih baik tentang letusan Merapi," kata Kepala PVMBG Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono, di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, mikrofon infrasonik tersebut akan mampu menangkap gelombang udara yang diakibatkan letusan Gunung Merapi dan pengamat tidak hanya mendasarkan pengamatan pada seismograf atau pengamatan visual. "Kami kemudian akan menganalisa data yang masuk sehingga memperoleh statistik yang baik tentang jumlah letusan Merapi," katanya.

Ia mengatakan alat serupa telah dipasang di sejumlah gunung api lain di Indonesia seperti Gunung Krakatau dan Gunung Semeru.

Pemasangan mikrofon infrasonik merupakan hasil kerja sama dengan Jepang yang juga mengirimkan tiga ahli gunung api ke Indonesia untuk melakukan pemantauan terhadap Merapi.

"Meskipun ada bantuan dari Jepang, bukan berarti tenaga dari Indonesia masih kurang. Segala pertimbangan dan keputusan juga masih berada di tangan saya," katanya.

Ketiga ahli dari Jepang tersebut melakukan pantauan dari tiga sisi yang saling berkaitan, yaitu geofisik, geokimia, dan geologi.

Mengenai pemasangan mikrofon infrasonik itu, Iguchi mengatakan alat tersebut akan efektif karena terkadang puncak Gunung Merapi diselimuti kabut sehingga tidak terlihat adanya letusan, padahal kenyataannya gunung tersebut meletus. "Kami akan terus memberikan pendampingan dari sisi keilmuan kepada PVMBG," katanya.

Intensitas erupsi menurun

Intensitas erupsi Gunung Merapi pada Jumat mulai pukul 06.00 WIB hingga 12.00 WIB masih berlangsung, namun cenderung menurun dengan disertai suara gemuruh lemah sampai sedang yang terdengar di kawasan Kaliurang.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono mengatakan berdasarkan hasil pemantauan yang diperoleh jumlah kegempaan terjadi tremor beruntun, 10 guguran, dan dua kali gempa teknonik.

Selebihnya, kata dia, gempa vulkanik, multiphase, dan "low frequency" tidak terdeteksi. Pada pukul 12.54 WIB awan panas meluncur ke arah Selatan.

Ia mengatakan endapan lahar telah teramati di semua sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi dari arah tenggara, selatan, barat daya, barat, hingga barat laut yang meliputi Kali Woro, Gendol, Kuning, Boyong, Bedog, Krasak, Bebeng, Sat, Lamat, Senowo, Tringsing, dan Kali Apu.

Surono mengatakan lahar di Kali Boyong telah diendapkan di Dusun Kardangan Desa Purwobinangun, Pakem yang berjarak sekitar 16 kilometer dari puncak Gunung Merapi.

"Lahar di Kali Kuning telah mengisi penuh Jembatan Sidorejo, Dusun Sidorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem yang berjarak 9,5 kilometer dari puncak Merapi," katanya.

Dia nengatakan di alur Kali Gendol lahar telah mengisi penuh dam di Dusun Morangan Desa Sindumartani yang berjarak 16,5 kilometer dari puncak Merapi.

Berdasarkan laporan dari Pos Ketep, cuaca cerah diselingi kabut dari dini hari hingga siang ini terus terjadi. Tampak asap berwarna putih hingga cokelat condong ke selatan, barat daya, barat hingga barat laut setinggi 1.000 meter dari puncak Gunung Merapi dan bertekanan lemah.

Harus tetap diwaspadai

Kepala Badan Geologi R Sukhyar mengatakan saat ini Gunung Merapi sedang memasuki masa "istirahat", namun belum dapat dipastikan apakah fase erupsi gunung ini telah berakhir.

"Sekarang justru harus tetap diwaspadai, apakah masa istirahat ini dimanfaatkan oleh Merapi untuk keluar dari sistem yang telah terbentuk, dan nanti erupsi lagi atau tidak," kata Sukhyar, di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, kewaspadaan tersebut perlu tetap dipertahankan karena kejadian serupa juga terjadi pascaletusan 26 Oktober 2010.

Pascaletusan 26 Oktober, Gunung Merapi juga mengalami masa istirahat, namun kemudian terjadi erupsi eksplosif yang sangat besar selama periode 3-8 November dengan puncak letusan pada 5 November 2010.

Sukhyar mengatakan, masa istirahat tersebut harus dilihat dari jarak antar puncak letusan Gunung Merapi yaitu pada 26 Oktober hingga 5 November yang berjarak sekitar 10 hari.

"Secara teori, dalam masa istirahat ini Gunung Merapi akan membentuk gelembung-gelembung gas yang memungkinkan adanya letusan eksplosif," katanya.

Sukhyar memperkirakan letusan besar yang dimulai sejak 3 November 2010 ditandai dengan keluarnya awan panas selama lebih dari dua jam secara berturut-turut, dan kemudian dilanjutkan dengan letusan tanpa henti hingga 8 November 2010, merupakan satu paket letusan besar. "Yang paling diharapkan adalah, Gunung Merapi tidak meletus lagi karena sekarang tingkat eksplosifitasnya sudah rendah," katanya.

Berdasarkan jumlah material yang telah dimuntahkan oleh Gunung Merapi sejak letusan 26 Oktober, dapat diketahui indeks letusan gunung tersebut atau "volcanic eksplosivity indeks" (VEI) adalah empat. "VEI dengan jumlah material yang dimuntahkan antara 100 juta meter kubik hingga 1 miliar meter kubik adalah empat," katanya.

Sementara itu, pada Jumat sekitar pukul 12.54 WIB, Gunung Merapi kembali mengeluarkan awan panas dengan jarak luncur tiga hingga empat kilometer ke arah selatan.

Kepala PVMBG Surono mengatakan dengan semakin tidak adanya halangan di puncak gunung akibat erupsi yang terus-menerus, jarak luncur awan panas skala kecil bisa mencapai tiga kilometer. "Biasanya, dalam waktu dua menit, jarak luncur awan panas adalah satu kilometer, namun sekarang jarak luncurnya bisa mencapai tiga kilometer," katanya.

PVMBG tetap memberlakukan radius aman 20 kilometer (km) karena sebaran awan panas tidak hanya ke selatan, tetapi juga ke berbagai arah seperti ke barat dan barat daya.

Sementara itu, berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan hingga pukul 12.00 WIB, gempa tremor masih terjadi secara beruntun, 10 kali guguran dan dua kali gempa tektonik.

Awan panas muncul lagi

Gunung Merapi kembali meluncurkan awan panas besar pada Jumat pukul 17.38 WIB, terjadi selama lebih dari satu jam.

Berdasarkan pantauan kamera CCTV yang dipasang di Deles Klaten, Jawa Tengah, juga terlihat kolom asap cukup tinggi yang diikuti dengan munculnya lava pijar yang cukup besar sekitar pukul 18.45 WIB.

"Kami masih tetap menyatakan status Gunung Merapi dalam keadaan `awas` meskipun dalam beberapa hari terakhir ini intensitas seismik Merapi menurun," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Surono, di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, luncuran awan panas selama lebih dari satu jam tersebut cukup berbahaya karena kondisi di Gunung Merapi sudah seperti jalan tol karena tidak ada lagi penghalang di sepanjang lereng tersebut seperti pepohonan.

Oleh karena itu, lanjut dia, diperkirakan luncuran awan panas tersebut kemungkinan bisa mencapai jarak cukup jauh.

Sebelumnya, pada pukul 12.54 WIB juga muncul awan panas berdurasi sekitar tiga menit yang meluncur ke arah selatan sejauh tiga hingga empat kilometer.

Pascaletusan 26 Oktober 2010, intensitas seismik Merapi juga sempat mereda, namun kembali meletus besar pada 3 November dengan puncak letusan pada 5 November 2010.

"Masyarakat tetap diminta untuk berada di luar radius 20 kilometer sebagai radius berbahaya yang telah ditetapkan sebelumnya ataupun beraktivitas di sepanjang alur sungai berhulu di Merapi," katanya.

Surono mengatakan energi yang tersimpan di perut Merapi masih cukup besar, dan besarnya energi tersebut berbanding lurus dengan letusan.

Ia mengatakan, kemungkinan sejumlah daerah yang terletak di sisi barat dan barat daya Gunung Merapi akan kembali mengalami hujan pasir dan hujan abu. Adanya hujan pasir dan abu tersebut menunjukkan bahwa aktivitas Merapi masih tinggi sehingga bisa menjadikan kewaspadaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Namun demikian, ia mengatakan relokasi warga yang semula tinggal di sekitar Merapi bukan merupakan pilihan terakhir, karena yang lebih penting dilakukan adalah manajemen risiko letusan gunung berapi ini.

"Tanah di sekitar gunung api tersebut akan semakin subur. Tetapi masyarakat juga perlu memiliki manajemen risiko yang baik," katanya.

Korban meninggal 161 orang

Korban meninggal dunia akibat letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dibawa ke Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta pada Jumat hingga pukul 18.00 WIB tercatat 161 orang.

Sebanyak 161 korban yang meninggal dunia itu terdiri atas 37 korban meninggal saat erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010, sedangkan 124 korban meninggal pada erupsi pada 5 November 2010.

Kepala Bagian Humas dan Hukum Rumah Sakit (RS) Sardjito Yogyakarta Trisno Heru Nugroho membenarkan total jumlah korban meninggal dunia yang dibawa ke RS Sardjito Yogyakarta akibat letusan Merapi pada 26 Oktober 2010 dan 5 November 2010 sebanyak 161 orang.

RS Sardjito Yogyakarta hingga kini masih merawat sebanyak 91 korban letusan gunung yang terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, sejumlah 20 orang di antaranya menderita luka bakar dan 71 orang nonluka bakar, sedangkan sembilan orang diperbolehkan pulang menjalani rawat jalan.

Menurut dia, di ruang forensik RS Sardjito Yogyakarta hingga kini masih terdapat sebanyak 12 jenazah, sejumlah 10 jenazah dari hasi evakuasi tim SAR, TNI, dan Relawan serta dua jenazah dari pasien yang dirawat di rumah sakit ini.

Ia mengatakan 12 jenazah yang masih berada di ruang forensik RS Sardjito Yogyakarta rencananya akan dikubur secara massal pada Sabtu (13/11). Namun tempat untuk memakamkan jenazah tersebut belum bisa dikofirmasi.

Jumlah korban meninggal dunia akibat letusan Gunung Merapi pada Jumat (5/11) dini hari kemungkinan masih akan terus bertambah karena tim gabungan yang terdiri atas anggota pencarian dan penyelamatan (SAR), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan relawan masih terus melakukan proses evakuasi, terutama di dusun sekitar Kali Gendol.

Tim SAR DIY, TNI, dan relawan hingga kini masih menemukan jenazah di dusun-dusun sekitar Kali Gendol yang terletak tidak jauh dari puncak gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sementara itu, sekitar 97 persen pengungsi korban bencana erupsi Merapi yang tinggal di beberapa posko pengungsian bisa mengatasi gangguan psikologis temporer berupa syok sesaat.

"Mereka tidak mengalami gangguan psikologis karena memiliki kemampuan dalam proses penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan," kata Koordinator Tim Relawan Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Rahmat Hidayat di posko kesehatan Stadion Maguwoharjo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat.

Menurut dia, hingga kini tim relawan yang tergabung dalam Center for Public Mental Health (CPMH) atau Pusat Kesehatan Mental Masyarakat, Fakultas Psikologi UGM telah memberikan bantuan psikologi kepada 340 pengungsi. "Kami memberi bantuan psikologi dan konseling, mulai dari kasus ringan hingga yang paling berat," kata dosen Fakultas Psikologi UGM itu.

Ia mengatakan untuk kasus yang lebih berat, pihaknya menerjunkan tim psikolog dan mahasiswa S2 psikologi, sedangkan untuk terapi bermain bagi anak-anak dilakukan mahasiswa S1 psikologi.

"Dalam memberikan bantuan psikologi, pengungsi dibedakan dalam dua kategori, yakni mereka yang mengungsi karena lokasi rumah saat ini sedang tidak aman untuk ditempati dan mereka yang mengungsi betul-betul sebagai korban akibat rumah yang ditempati sudah hancur," katanya.

Menurut dia, pengungsi yang betul-betul menjadi korban itu perlu mendapat penanganan psikologis secara serius. "Kasus yang paling banyak mendapat bantuan psikologi adalah pengungsi yang mengalami ketakutan dan kecemasan secara terus menerus. Mereka kebanyakan mengalami insomnia, tidak tenang dan cemas secara berlebihan," katanya.

Selain itu, tim relawan psikologi UGM juga menangani 40 kasus yang mengarah kepada kasus gangguan jiwa. Namun, kasus tersebut bukan kasus baru akibat bencana Merapi, melainkan memang sudah memiliki riwayat gangguan tersebut. "Gangguan itu muncul lagi karena adanya perubahan drastis dengan kondisi mereka yang menjadi pengungsi akibat meletusnya Merapi," katanya.

Anggota tim relawan psikologi UGM Tina Afiatin mengatakan, dukungan sosial berupa dari keluarga atau sesama pengungsi sangat membantu mereka untuk bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi yang dialami saat ini. "Mereka yang mengalami gangguan proses penyesuaian diri biasanya kurang atau tidak mendapat dukungan dari kerabat atau keluarganya," katanya.

Menurut dia, pengungsi yang mengalami gangguan penyesuaian diri biasanya mengalami insomnia, hipertensi, dan psikosomatis. Gangguan itu ditunjukkan dengan keinginan untuk segera pulang ke rumah, tidak betah tinggal di pos pengungsian, tidak mau makan, dan tidak mau bicara.

"Untuk kasus yang berat, biasanya mereka mengalami ketakutan secara terus menerus, sering menangis, dan mengalami halusinasi," katanya.

11.099 ternak belum teridentifikasi

Sebanyak 11.099 ternak di kawasan Gunung Merapi yaitu Kecamatan Turi, Cangkringan, dan Pakem, Kabupaten Sleman, belum berhasil didentifikasi pascaletusan Gunung Merapi pada 26 Oktober dan 5 November 2010.

"Sebanyak 11.099 ternak sapi, kambing, dan domba hingga Kamis(11/11) malam belum dapat diidentifikasi," kata Kepala Dinas Pertanian (Dispertan) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)Nanang Suwandi di Yogyakarta, Jumat.

Hingga kemarin malam, kata dia Dispertan DIY baru berhasil mendata jumlah ternak mati yaitu sebanyak 1.548 ekor dan ternak yang berhasil dievakuasi dari kawasan rawan bencana sebanyak 1.358 ekor.

"Jumlah populasi awal ternak di tiga kecamatan rawan bencana sebanyak 13.005 ekor, jumlah terbanyak ada di Pakem yaitu 5.367, Cangkringan 4.621, dan Turi 3.017 ekor," katanya.

Ternak yang berhasil dievakuasi, kata Nanang ditampung di 31 titik penampungan diantaranya di `Youth Center`, Maguwoharjo, dan Lapangan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

"Persediaan hijauan pakan ternak hanya cukup untuk 10 hari ke depan, untungnya bantuan pakan dari luar Yogyakarta terus mengalir. Hari ini datang lima ton pakan dari Baturaden," katanya.

Selain itu, menurut dia produksi susu sapi di Kabupaten Sleman juga menurun drastis hingga lebih dari 50 persen sebagai dampak dari letusan Gunung Merapi.

"Misalnya dua koperasi susu perah binaan Dispertan DIY, Sarana Makmur dan Warga Mulia masing-masing hanya mampu menyetor sekitar 1.000 dan 2.000 liter susu sapi per hari. Anjlok 50 persen dibanding saat normal, koperasi lain pun juga begitu," katanya.

Sementara itu, seluas 281 hektare lahan tanaman pangan di Kecamatan Turi, Cangkringan, dan Pakem Kabupaten Sleman akan kehilangan produktivitasnya minimal selama satu tahun karena tertimbun abu vulkanik muntahan Gunung Merapi.

"Jumlah tersebut merupakan lahan tanaman pangan yang mengalami puso dan rusak berat terkena dampak letusan Gunung Merapi," kata Kepala Dinas Pertanian (Dispertan) Nanang Suwandi di Yogyakarta, Jumat.

Sementara itu, areal pertanian tanaman pangan yang mengalami kerusakan ringan seluas 1.591 hektare masih dapat ditanami jika terus menerus diguyur hujan. "Total kerugian yang diderita Kabupaten Sleman akibat rusaknya lahan tanaman pangan karena letusan Gunung Merapi sebesar Rp4,5 miliar," katanya.

Letusan Gunung Merapi, kata dia juga merusak 870 rumpun salak siap panen dan menyebabkan kerugian sebesar Rp219 milyar. "Kerugiannya sangat besar karena buah salak tersebut sudah siap panen," katanya.

Ia mengatakan sektor perkebunan tanaman hias dan pertanian sayur pun tidak luput dari kerugian. "Sebanyak 640 batang tanaman hias rusak, kerugian ditaksir mencapai Rp1,1 milyar. Sedangkan lahan pertanian sayuran yang rusak seluas 765 hektae," katanya.

Selain di Sleman, kata dia abu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Merapi juga merusak seluas 81 hektare lahan tanaman pangan di Kulon Progo. "Abu vulkanik tersebut terbawa angin yang bertiup ke arah barat, kerugian Kulon Progo ditaksir sebesar Rp722 juta, sebagian besar lahan tanaman pangan di wilayah tersebut mengalami kerusakan ringan," katanya.

Klinik kesehatan pengungsi

Tim "Disaster Response Unit" Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mendirikan klinik kesehatan darurat di delapan titik pengungsian korban bencana erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Klinik tersebut memberikan pelayanan kesehatan bagi para pengungsi selama 24 jam. Dinas Kesehatan DIY menyerahkan delapan titik pengungsian ke UGM untuk pelayanan kesehatan," kata Ketua Tim Kesehatan Disaster Response Unit (Deru) UGM Sulanto Saleh Danu di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, kedelapan titik pengungsian itu adalah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), UPN Veteran, Batalyon 403, barak Pramuka, GOR Pangukan, Masjid Agung Sleman, Youth Center Sleman, dan Stadion Maguwoharjo.

"Kami menerjunkan 300 dokter dan 50 paramedis untuk memberikan pelayanan kesehatan dan obat-obatan kepada para pengungsi. Mereka bertugas secara bergantian dengan sistem `shift` untuk menghindari kelelahan," katanya.

Ia mengatakan tenaga medis tersebut berasal dari GMC Health Center, Fakultas Kedokteran UGM, dan dokter residen yang praktik di Rumah Sakit Dr Sardjito dan Rumah Sakit Akademik UGM.

"Kondisi fisik pengungsi saat ini mulai mengalami penurunan. Banyak pengungsi yang terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), diare, sakit mata, dan sakit kulit," katanya.

Selain itu, menurut dia, gangguan psikologis para pengungsi dari hari ke hari menunjukkan peningkatan. "Kami menangani kesehatan para pengungsi di delapan titik pengungsian tersebut agar mereka sembuh dan dapat beraktivitas kembali seperti biasa," katanya.

Ia mengatakan, sebelumnya, Deru UGM juga telah mendirikan tiga klinik kesehatan darurat di tiga titik pengungsian, yakni Hargobinangun, Girikerto 1, dan Girikerto 2.

"Namun, sejak erupsi Merapi pada 4 November 2010, pos kesehatan Hargobinangun dipindahkan ke Stadion Maguwoharjo, sedangkan pos di Girikerto dipindahkan ke Youth Center Sleman," katanya.

Sementara itu, Pimpinan Pusat Aisyiyah mendirikan dapur balita sehat di posko pengungsian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang menampung pengungsi korban bencana erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Dapur balita sehat itu didirikan untuk menyajikan dan memenuhi asupan menu makanan yang dibutuhkan balita," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah, Siti Noordjanah Djohantini di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, meskipun berada di pengungsian, kebutuhan gizi bagi balita harus tetap diperhatikan. Kebutuhan balita itu berbeda dengan kebutuhan orang dewasa.

"Meskipun para pengungsi telah mendapatkan menu makanan yang memadai, balita tetap memerlukan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan dan disarankan ahli gizi," katanya.

Ia mengatakan kebutuhan balita untuk mendapatkan asupan gizi, seperti sayuran dan susu, jelas berbeda dengan kebutuhan orang dewasa. Untuk itu, makanan yang disajikan dalam pengungsian juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

"Balita merupakan usia penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada usia itu anak masih rentan dengan berbagai gangguan kesehatan, baik jasmani maupun rohani," katanya.

Salah satu faktor yang menentukan ketahanan tubuh balita adalah asupan gizinya. Pertumbuhan anak pada masa balita sangat pesat sehingga mereka membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi daripada orang dewasa.

Di sisi lain, alat pencernaan balita belum berkembang sempurna, sehingga kebutuhan makanannya juga perlu disesuaikan dan berbeda dengan orang dewasa.

"Meskipun berada di pengungsian yang ditempati banyak orang, balita yang sedang mengalami proses tumbuh kembang harus memiliki kesehatan dan ketahanan tubuh yang baik. Tumbuh kembang anak jangan sampai terabaikan," katanya.

Oleh karena itu, orang tua tetap harus memperhatikan makanan yang diberikan kepada balitanya agar mereka tetap sehat dan ceria meskipun berada di pengungsian.

Menurut dia, program itu diharapkan dapat menambah pengetahuan orang tua dalam menyajikan menu makanan sehat bagi balitanya. "Selama ini banyak balita yang tidak suka mengkonsumsi sayuran, dalam program dapur balita sehat ini para orang tua bisa berkonsultasi dan berbagi pengalaman bagaimana menyajikan menu makan dan strategi agar balita tetap tercukupi kebutuhan sayuran," katanya.

Ia mengatakan, dalam program itu Aisyiyah akan membuka 10 posko dapur balita sehat di beberapa titik pengungsian yang tersebar di DIY-Jawa Tengah. "Program itu menyediakan informasi mengenai penyiapan menu dan pengolahan makanan, dialog partisipatif seputar makanan sehat, dan pendampingan bagi anak dan ibu dalam menu makanan sehat baik selama di pengungsian maupun tindak lanjutnya saat kembali ke rumah,` katanya.

Sumsel beri bantuan medis

Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan memberikan bantuan medis untuk para pengungsi korban bencana erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bantuan tersebut diserahkan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatra Selatan (Sumsel) Dwi Sarwanto kepada Kepala Dinas Ketenteraman dan Ketahanan DIY Murprih Antoro Nugroho dan Kepala Dinas Sosial DIY Sulistiyo di Kepatihan Yogyakarta, Jumat.

Menurut Dwi Sarwanto, bantuan itu berupa tim medis yang terdiri atas lima dokter, lima perawat, dua asisten apoteker, obat-obatan, satu mobil klinik, dan ambulans untuk meringankan beban warga yang terkena bencana Merapi.

"Bantuan yang diberikan itu kendati tidak seberapa nilainya, diharapkan bisa mengurangi beban warga yang terkena musibah Merapi. Bantuan itu juga sebagai wujud hubungan yang sangat erat antara masyarakat Sumatra dan Jawa," katanya.

Selain bantuan medis, Pemprov Sumsel juga memberikan bantuan sembako dan tenaga relawan sebanyak 10 orang, sembilan truk berisi sandang dan pangan seperti selimut, beras, mi instan, air mineral, tenda/terpal plastik, tikar, keperluan untuk wanita, dan bantuan dari peserta Diklatpim berupa uang sebanyak Rp5 juta.

"Kami mohon izin penyediaan tempat untuk membuka klinik yang bisa melayani 500 pasien. Jika tempat sudah ada, tim medis dari Sumsel akan langsung bekerja," katanya.

Murprih Antoro Nugroho mengatakan atas nama Gubernur DIY mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Pemprov dan masyarakat Sumsel kepada warga Yogyakarta yang sedang terkena bencana erupsi Merapi.

Menurut dia, bantuan yang diberikan kepada warga Yogyakarta diharapkan bisa meringankan beban mereka. Apalagi, Pemprov Sumsel juga akan membuka klinik untuk melayani kesehatan warga yang terkena dampak erupsi Merapi.

"Kami mengusulkan tempat untuk membuka klinik adalah Jogja Expo Center (JEC), karena terdapat sekitar 1.500 pengungsi yang membutuhkan tambahan layanan kesehatan, agar mereka yang sakit dapat mendapatkan layanan yang baik,` katanya.

Jangkauan abu Merapi dilihat dari Satelit TERRA dan AQUA


1 Votes


Aqua Satellite

Dibawah ini tiga foto satelit yang menunjukkan jangkauan debu vulkanik merapi. Citra sattelit ini diambil pada tanggal 10 November 2010, 11 November 2010 dan 12 November 2010. Citra ini diambil dengan menggunakan Satelit TERRA dan AQUA. Dalam citra ini terlihat jangkauan abu Volkanik ini mencapai 200-300 Km dari pusat Gunung Merapi.

:( “Wah Pakdhe, Nyemburnya tinggi bangget ya ?”

:D “Iya Thole, konon memang tipe letusan Plinian ini menunjukkan tekanan yang tinggi yang diperkirakan dari dapur magma yang lebih dalam”.

TERRA

The Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer merupakan instrumen pencitraan yang terbang di satelit Terra NASA sebagai bagian dari NASA Earth Observing System. Hal ini dirancang untuk memperoleh gambar resolusi tinggi global, regional dan lokal Bumi dengan 14 band warna.

Merapi 10 November 2010

Bila memiliki software GIS atau Google Earth bisa diunduh disini :

11 November 2010.

Pengguna GIS software dan Google Earth silahkan unduh disini :

Merapi 12 November 2010

Merapi 12 November 2010

Pengguna software GIS (Geographic Information System) dan Google earth silahkan unduh disini :

Sumber NASA

Dongengan terkait :

Jangan Sepelekan Masa Istirahat Merapi

Jangan Sepelekan Masa Istirahat Merapi

Nusantara / Jumat, 12 November 2010 16:34 WIB

Metrotvnews.com, Yogyakarta: Kepala Badan Geologi R. Sukhyar mengatakan saat ini Gunung Merapi memasuki masa "istirahat". Belum bisa dipastikan: apakah fase erupsi gunung tersebut telah berakhir.

"Sekarang justru harus tetap diwaspadai, apakah masa istirahat ini dimanfaatkan oleh Gunung Merapi untuk keluar dari sistem yang telah terbentuk dan nanti erupsi lagi atau tidak," kata Sukhyar di Yogyakarta, Jumat (12/11).

Sukhyar menerangkan, kewaspadaan perlu dipertahankan. Kejadian serupa terjadi pascaletusan 26 Oktober 2010. Setelah itu, Merapi juga mengalami masa istirahat. Tapiterjadi erupsi eksplosif sangat besar pada 3 - 8 November 2010. Adapun puncaknya terjadi 5 November 2010.

Menurut Sukhyar masa istirahat Merapi harus dilihat dari jarak antarpuncak letusan. Yaitu dari 26 Oktober hingga 5 November, sekitar 10 hari.

"Secara teori, dalam masa istirahat ini Gunung Merapi akan membentuk gelembung-gelembung gas yang memungkinkan adanya letusan eksplosif," katanya.

Sukhyar memperkirakan letusan besar sejak 3 November ditandai dengan keluarnya awan panas selama lebih dari 2 jam. Berturut-turut dan kemudian dilanjutkan dengan letusan tanpa henti sampai 8 November. Itulah satu paket letusan besar.

"Yang paling diharapkan adalah, Gunung Merapi tidak meletus lagi karena sekarang tingkat eksplosifitasnya sudah rendah," katanya.

Berdasarkan jumlah material yang telah dimuntahkan oleh Gunung Merapi sejak letusan 26 Oktober, dapat diketahui indeks letusan gunung tersebut atau volcanic eksplosivity indeks (VEI) adalah 4..

"VEI dengan jumlah material yang dimuntahkan antara 100 juta meter kubik hingga 1 miliar meter kubik adalah empat," katanya.

Sementara itu, sekitar pukul 12.54 WIB tadi, Gunung Merapi kembali mengeluarkan awan panas dengan jarak luncur tiga hingga empat kilometer ke arah selatan.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, dengan semakin tidak adanya halangan di puncak gunung akibat erupsi yang terus-menerus, jarak luncur awan panas skala kecil bisa mencapai tiga kilometer.

"Biasanya, dalam waktu dua menit, jarak luncur awan panas adalah satu kilometer, namun sekarang jarak luncurnya bisa mencapai tiga kilometer," katanya.

PVMBG tetap memberlakukan radius aman 20 kilometer (km) karena sebaran awan panas tidak hanya ke selatan, tetapi juga ke berbagai arah seperti ke barat dan barat daya.

Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan hingga pukul 12.00 WIB, gempa tremor masih terjadi secara beruntun, 10 kali guguran dan dua kali gempa tektonik. (Ant/*****)

Alhamdulillah, Amanah Rakyat Palestina Sudah Diterima Korban Merapi


E-mailPrintPDF
Bantuan dari pengungsi Palestina itu juga akan disampaikan dalam bentuk hewan qurban. Insya Allah

Hidayatullah.com--Tim Sahabat Al-Aqsha telah menyampaikan amanah dari Ulama dan rakyat Palestina di Gaza dan Suriah, kepada korban letusan Gunung Merapi, Alhamdulillah.

Kiriman dana sebesar 2 ribu dolar itu disalurkan ke beberapa tempat. Tadi pagi, Tim Sahabat Al-Aqsha dan Relawan Masjid Jogja menyampaikan sebagian dana itu diantaranya kepada warga Dusun Panggungan, Wonolelo, Sawangan, Magelang.

Dusun Panggungan ini terletak lebih kurang 17 km dari pusat letusan Gunung Merapi dan merupakan daerah terisolir. Tim SA dan Relawan Masjid Jogja menyampaikan bantuan berupa beras dan obat-obatan di tengah hujan abu yang pekat.

Menurut Amirrul Iman, direktur operasional Sahabat Al-Aqsha, bantuan dari pengungsi Palestina itu juga akan disampaikan dalam bentuk hewan qurban. Insya Allah.

M. Fanni Rahman, Kordinator Tim SA dan Relawan Masjid Jogja sedang menjajaki pembuatan “Kamar Berkah 30 Menit”, yang akan disediakan bagi pasangan pengungsi suami-istri untuk melaksanakan Sunnatullah berjima’.

“Pengungsi bukan hanya butuh makan, tapi juga kebutuhan lain sebagai manusia sempurna harus kita bantu,” kata Fanni yang pernah ke Gaza ini.

Ziad Said Mahmud, Direktur Al-Sarraa Foundation yang mengirimkan bantuan itu lewat Sahabat Al-Aqsha menyatakan gembira atas sampainya amanah itu.

“Semoga jumlah yang sedikit itu mengundang pertolongan Allah yang lebih besar untuk meringankan penderitaan saudara-saudara kita,” kata Ziad, yang juga kordinator bantuan kemanusiaan internasional Palestina lewat telepon. [SA/hidayatullah.com]

Waspada! Sandiwara Merapi Belum Berakhir Jumat, 12 November 2010 23:34:00


Gambar Merapi Terbaru. (Foto: Dok)

YOGYA (KRjogja.com) - Setelah sempat 'istirahat' selama tiga hari, aktivitas Gunung Merapi kembali menggeliat. Jumat (12/11) petang, intensitas vulkanologi Merapi terpantau dengan ditandai keluarnya awan panas besar selama lebih dari satu jam yang disusul munculnya lava pijar.

Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM, Dr Surono, awan panas letusan ini membuktikan bahwa aktivitas Merapi masih tinggi."Intensitas letusan Merapi menurun setelah tanggal 8 November. Masyarakat menginterpretasikan bahwa aktivitas Merapi sudah turun. Padahal saya selalu mengingatkan, yang menurun hanya intensitas letusan namun aktivitasnya masih tinggi. Hal itu terbukti sekarang," kata Surono di Kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Jumat malam.

Awan panas terpantau sejak pukul 17.38 hingga 18.40 WIB, lalu mereda dan sekitar pukul 18.45 kemudian terlihat lava pijar. Luncuran awan panas mengarah ke selatan-barat daya. Jarak luncurnya belum diketahui, namun dipastikan jauh.

"Jarak luncurnya sudah pasti jauh karena durasinya lama dan sudah tidak terhalang oleh gundukan, pohon atau bangunan rumah yang sudah diterjang awan panas sebelumnya. Letusan ini lebih kecil dari letusan 5 November yang sempat mengeluarkan awan panas selama lebih 3 jam. Saya pastikan jarak luncur awan panas sekarang masih di bawah 20 kilometer (km), sehingga zona aman di luar radius 20 km tidak perlu diperluas," terangnya

Sebelumnya Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Dr R Sukhyar telah mengingatkan, masa 'istirahat' Merapi setelah tanggal 8 November harus terus diwaspadai. Pasalnya, kejadian serupa juga terjadi pascaletusan 26 Oktober. Ketika itu Merapi juga mengalami masa 'istirahat', namun kemudian terjadi erupsi eksplosif yang sangat besar selama periode 3-8 November dengan puncak letusan pada 5 November. "Secara teori, dalam masa 'istirahat' Gunung Merapi akan membentuk gelembung-gelembung gas yang memungkinkan adanya letusan eksplosif," katanya.

Surono menambahkan, awan panas bisa terjadi setiap saat dan luncurannya bisa menghajar bantaran sungai. Ancaman banjir lahar juga makin serius, mengingat endapan lahar hampir memenuhi 12 sungai yang berhulu di puncak Merapi. "Instrumen seismik BPPTK juga mencatat rentetan gempa tremor terus berlangsung. Dengan semua parameter itu, status Merapi tetap awas. Karena itu kami meminta warga untuk lebih bersabar di pengungsian, jangan grusa-grusu ingin pulang. Bersabarlah hingga 'sandiwara' Merapi berakhir dengan baik," pungkasnya. (R-3)

Thursday, November 11, 2010

Merapi pernah Ratusan Tahun Mengubur Borobudur

Tribunnews.com - Kamis, 11 November 2010 00:11 WIB
Merapi pernah Ratusan Tahun Mengubur Borobudur
TRIBUNNEWS.COM/HASAN SAKRI GHOZALI
Pasir dan abu vulkanik Merapi telah merusakkan Candi Borobudur. Ketebalan pasir dan abu rata-rata antara 1-2 cm.

Ditulis oleh Tribunner, Nugroho Trisnu Brata

YOGYAKARTA-
Jangan heran bila letusan gunung Merapi sejak 26 Oktober hingga 11 November 2010 masih berlangsung ini abunya menyebar hingga ke DIY, Jateng dan Jawa Barat.

Tentu saja termasuk dua candi terkenal di dunia yaitu Borobudur di Magelang dan candi Prambanan di Klaten tak luput dari siraman abu vulkanik dari Merapi. Bahkan dahulu Merapi pernah mengubur candi Bodobudur dan Prambanan selama ratusan tahun.

Gunung Merapi menyemburkan awan panas (wedhus gembel) yang menggulung sebagian desa di bawahnya. Kinahrejo dan Kaliadem adalah dua dusun yang hancur diterjang awan panas bercampur kerikil, pasir, dan abu yang panasnya mencapai lebih 600 derajat Celcius.

Mas Penewu Surakso Hargo atau Mbah Maridjan, ikon kearifan lokal, abdi dalem keraton di gunung itu, meninggal diterjang awan panas dalam posisi sujud, karena dia sedang shalat magrib.

Gunung Merapi merupakan gunung superaktif dan memiliki karakter ”aneh” dibanding gunung berapi lain di dunia. Berkali-kali ia memuntahkan lahar yang didahului gempa bumi.

Dahulu, kerajaan Mataram Kuno (Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra) luluh lantak oleh amukannya sehingga Raja Mpu Sendok memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Candi Borobudur dan Candi Prambanan puncak karya budaya pada masa itu pun terkubur abu dan pasir selama ratusan tahun.

Ketika kerajaan Mataram Baru (Islam) didirikan oleh Panembahan Senopati, keberadaan Merapi pun terasa penting. Kosmologi kejawen yang dibangun Panembahan Senopati mengakomodasi dunia gaib penguasa Gunung Merapi dan penguasa Laut Selatan.

Mataram Islam yang berada di dataran subur antara Gunung Merapi dan Laut Selatan mendapat dukungan Ratu Kidul, penguasa laut selatan dan Syeh Jumadil Qubro, penguasa gunung Merapi.

Awan panas Merapi yang pada 26 Oktober lalu datang pada waktu magrib mengingatkan orang pada kategori waktu masyarakat Jawa: candhik olo, sepenggal waktu transisi siang ke malam yang ”berbahaya”.

Pada waktu candhik olo anak-anak kecil harus berhenti bermain dan pulang ke rumah, orang yang sedang bekerja harus berhenti, orang yang memanjat pohon harus turun, orang yang dalam perjalanan harus berhenti, dan tidak boleh tidur. Ini untuk menghindari malapetaka yang bisa menimpa manusia.

Harta Pusaka

Dalam perspektif ethno-ecology masyarakat lereng Merapi memiliki kearifan lokal (local wisdom) dalam memprediksi bencana yang bisa datang. Lahar adalah kategori bahwa Merapi beraktivitas seperti sehari-hari dan kondisi aman.

Wedhus gembel adalah kategori bahaya tahap awal. Wedhus gembel adalah awan panas bercampur abu, pasir, dan kerikil panas yang bisa menghanguskan dan membakar apa saja yang dia lewati. Awan panas ini jika dilihat dari jauh maka bentuknya seperti bulu kambing (wedhus) gembel .

Njebluk (meletus) adalah kategori bahaya tahap lanjut, kondisi sangat kritis sehingga semua harus mengungsi. Fase njebluk ini dalam rentang waktu yang lama, belum tentu dalam seumur hidup orang bisa mengalami fase Merapi njebluk ini, yakni sewaktu Merapi memuntahkan isi perutnya secara eksplosif.

Dua hari setelah erupsi Merapi ternyata sebagian masyarakat telah kembali menengok rumah dan harta bendanya. Masyarakat pun kembali enggan untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman menurut pemerintah.

Masyarakat tidak mau direlokasi atau ikut transmigrasi karena memiliki pemahaman bahwa pertama; tanah warisan orang tua adalah harta pusaka yang harus dilindungi dan dipelihara. Falsafah ini terungkap dalam kalimat sadumuk bathuk senyari bumi tak bela nganti mati (bahwa tanah adalah simbol harga diri, harus dipertahankan walau sampai mati sekalipun).

Kedua; orang Jawa sangat terikat oleh relasi terhadap makam nenek moyang. Secara periodik orang Jawa mengunjungi, merawat , dan nyekar makam orang tua dan leluhur. Ini adalah tanda bakti mereka pada leluhur. Mengunjungi makam leluhur juga mengukuhkan keberadaan mereka sebagai orang Jawa. Jika orang Jawa tidak tahu atau tidak memiliki makam leluhur, maka hidup mereka menjadi hampa makna.

Masyarakat lereng Merapi sedang terluka karena kehilangan sanak saudara dan harta benda. Pemerintah jangan membuat luka kedua dengan mewacanakan, apalagi memaksa, masyarakat direlokasi atau ditransmigrasikan. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat harus diperhatikan. (*)

Nugroho Trisnu Brata MHum
Dosen di Jurusan Sosiologi dan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
Mahasiswa program S3 Antropologi UGM

Ribuan Kera Merapi Eksodus ke Merbabu

Kamis, 11 November 2010 | 09:45 WIB
KOMPAS.com/Kristianto Purnomo
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

BOYOLALI, KOMPAS.com — Ribuan satwa jenis kera di lereng Gunung Merapi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, diduga banyak pindah habitat dengan menyeberang ke lereng Gunung Merbabu karena kehabisan makanan akibat bencana letusan Merapi.

Parto (80), warga Dusun Blumbangsari, Desa Samiran, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Kamis (11/11/2010), menjelaskan, gerombolan kera lereng Merapi sering terlihat menyeberangi jalan ke arah lereng Merbabu.

Menurut Parto, gerombolan kera Merapi berwarna kecoklatan tersebut berpindah ke lereng Merbabu diduga kehabisan makan akibat dampak debu vulkanik. Kera-kera itu kemungkinan juga karena kepanasan akibat suhu Merapi yang sering menyemburkan awan panas hingga saat ini.

"Kera-kera itu pindah ke lereng Merbabu terlihat sejak sepekan terakhir ini. Kera itu menyeberangi jalan utama jalur Selo-Magelang, sudah masuk lereng Merbabu, yang masih tersedia makan hewan itu," ucap Parto.

Slamet Sutanto (40), seorang perangkat Desa Jrakah, Selo, menjelaskan, kera-kera itu banyak berkeliaran di pinggiran sepanjang Jalan Selo-Magelang. Satwa itu juga banyak yang menyeberangi jalan ke lereng Merbabu.

Menurut Slamet, tanaman sayur dan buah-buahan di kanan kiri jalan yang masih ada sudah ludes dihabiskan kera-kera itu. Tanaman itu seluruhnya rusak, selain akibat dampak abu vulkanik, juga ulah kera itu.

Warga yang kembali pulang menengok rumahnya dari pengungsian kadang dikagetkan oleh banyaknya kera yang bergelantungan di atas gubuk tengah ladang dan di pohon-pohon yang terkena abu vulkanik.

Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTN-GM) Boyolali, Dulhadi, membenarkan bahwa banyak kera Merapi yang pindah habitat (eksodus) karena kehabisan stok makanan.

Menurut dia, hewan kera tersebut bisa juga eksodus akibat suhu di lereng Merapi masih panas sehingga mereka secara bergerombol mencari daerah yang lebih dingin suhunya.

Kendati demikian, pihaknya akan segera melakukan koordinasi untuk mengatasi kera eksodus tersebut dengan cara menggiring kembali ke habitatnya.

Menurut dia, kera menyeberang ke lereng Merbabu sebetulnya tidak menjadi masalah karena persediaan makanan di daerah itu masih banyak.

Namun, kata dia, yang menjadi masalah adalah habibat kera Merapi dan Merbabu berbeda. Karena, setiap segerombolan kera memiliki kelompok sendiri. Jika kera Merapi menyerbu ke lereng Merbabu, dapat terjadi perkelahian antara kedua kelompok tersebut.

"Kera yang menang akan menguasai daerah itu," ujarnya.

Kendati demikian, kera Merapi tersebut dengan sendirinya juga kembali ke habibatnya jika kondisi Merapi sudah pulih dan persdiaan makanan cukup. Sebaliknya, jika suhu di lereng Merapi masih panas, kemungkinan mereka akan menetap di Merbabu.

ANT
Sumber :

Kecurigaan yang Mencederai Kemanusiaan

Laporan wartawan KOMPAS Eny Prihtiyani
Kamis, 11 November 2010 | 16:19 WIB
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Warga korban letusan Gunung Merapi mengungsi di Posko Pengungsian TK Kirayan I, Dusun Kirayan, Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (3/11/2010) malam. Pengungsian yang dihuni oleh korban letusan Gunung Merapi dari enam dusun yaitu Balong, Tangkisan, Plosorejo, Plosokerep, Sambisari, dan Polorejo tersebut penuh.


KOMPAS.com — Pagi hari kemarin, Mbah Santo (70) terlihat melamun di pengungsian pendapa rumah dinas Bupati Bantul. Rupaya ia masih teringat kejadian Selasa (9/11/2010) malam, saat ia tiba-tiba dipindahkan dari pengungsian di Gereja Ganjuran ke rumah dinas. Ia pun bertanya, apa yang salah dengan kami?

"Saya tidak tahu kok kami dipindahkan lagi, padahal kami sudah capek pindah-pindah terus. Sebelum mengungsi ke Gereja Ganjuran, kami mengungsi di daerah Babadan, Ngemplak, Sleman. Namun, karena merasa tak aman, kami pun meluncur ke Bantul dan ternyata diterima oleh pihak gereja. Bagi kami, Bantul adalah daerah yang cukup aman karena lokasinya jauh dari Merapi," katanya.

Tak hanya Mbah Santo yang merasa heran dengan pemindahan tersebut. Hal serupa juga dirasakan Tukiyo (37), pengungsi lainnya. Ia sempat mendengar kabar dari para pedagang keliling di sekitar gereja tentang serombongan orang yang mendatangi gereja. Mereka menggunakan baju gamis dan bersorban. Mereka meminta pengungsi yang beragama Islam untuk keluar dari gereja karena curiga ada upaya pengaderan.

"Padahal, saya di gereja hanya mengungsi. Tidak ada ajaran apa pun. Saya ini beragama Islam, dan tidak keberatan kalau harus mengungsi di gereja. Yang penting aman. Mengungsi di masjid juga tidak apa-apa, jika ada yang mau menerima kami," paparnya.

Rombongan pengungsi tersebut berjumlah 98 orang. Mereka berasal dari Dusun Besalen, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Mereka mengungsi begitu mendengar letusan Merapi pada Jumat (5/11/2010) dini hari lalu.

Agus, bagian keamanan Gereja Ganjuran, mengatakan, meski serombongan pasukan bersorban tersebut tidak sampai masuk ke dalam gereja, kedatangan mereka sempat menciptakan kepanikan. "Kami khawatir ada penyerangan atau tindakan lainnya," katanya.

Hindari kecurigaan

Bupati Bantul Sri Surya Widati mengatakan, pemindahan tersebut dilakukan untuk menghindari kecurigaan dari kelompok tertentu. Selain itu, juga memberikan rasa aman bagi pengungsi. Kelompok tersebut mendatangi Gereja Ganjuran pada Senin (8/11/2010).

Untuk menenangkan kelompok tersebut, Sultan Hamengku Buwono X bersama dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas bahkan langsung mendatangi Gereja Ganjuran untuk menjadi mediator antara perwakilan pengungsi dan kelompok yang menaruh kecurigaan. Dalam mediasi tersebut, Kepala Kepolisian Resor Bantul Ajun Komisaris Besar Joas Feriko Panjaitan juga hadir.

Bencana seharusnya menimbulkan kepedulian dan melahirkan rasa kemanusiaan. Tidak lagi melihat korban bencana dari sudut pandang agama, ras, dan golongan. Semuanya harus ditolong tanpa batas-batas apa pun. Tanpa kecurigaan dan tanpa pamrih apa pun.

Tuesday, November 9, 2010

Kondisi Gunung Merapi Versi Geolog LIPI & Singapura


Berita Gunung Merapi kembali meletus dini hari tadi, lebih dahsyat dari letusan pertama pada 26 Oktober 2010 lalu. Bahkan, yang terakhir ini mungkin yang terdahsyat dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.

Letusan Merapi telah merenggut 69 jiwa. Awan panas menerjang Desa Argomulyo yang jaraknya 18 kilometer dari puncak gunung. Ini kali pertamanya malapetaka terjadi di sana. Sementara, kota Yogyakarta sedang bersiap menghadapi banjir lahar dingin. Status Siaga I diberlakukan.

Apakah Merapi akan berangsur normal atau justru sedang bersiap memuntahkan energi yang lebih besar, belum ada jawaban pasti.

Baru saja ada diskusi antara para geolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Earth Observatory of Singapore (EOS) tentang kondisi Merapi. Menurut sumber yang dapat dipercaya, ada sejumlah kesimpulan yang ditarik dari diskusi tersebut.

Pertama, letusan Merapi saat ini berbeda dengan letusan sebelumnya sejak tahun 1870-an. Letusan sebelumnya berasal dari magma dangkal, dengan kedalaman sekitar 2 kilometer.

"Sekarang tipe eksplosif karena kelihatannya berasal dari magma yang sangat dalam, 6 sampai 10 kilometer," demikian informasi yang diperoleh VIVAnews, Jumat, 5 November 2010.

Situasi juga jadi makin sulit untuk diprediksi. Salah satu sebabnya: peralatan yang masih berfungsi hanya seismometer. Sementara, alat lainnya seperti alat monitoring deformasi (EDM dan tilt meter), alat pencatat gas, dan alat monitoring visual, rusak. Karena itu, jangankan mengetahui apa yang terjadi dengan Merapi, untuk mengetahui apa saja aktivitas Merapi saat ini, sulit dilakukan.

"Apakah mungkin terjadi letusan yang lebih besar? Jawabannya, data yang ada tidak cukup untuk menjawab hal ini," salah satu geolog mengeluh.

Para geolog was-was karena mereka tidak bisa mengetahui berapa besar kantung magma-dalam dan berapa besar feeding dari bawah atau mantel Merapi. Meski demikian, ada cara lain untuk membantu memprediksi letusan selanjutnya, yakni dengan melihat komposisi kimia dari bahan-bahan yang dimuntahkan.

"Ini yang sedang dilakukan oleh para ahli di Yogyakarta," kata sumber itu.

publishing by Jekethek-:-Blog Berita Indonesia Terbaru Hari ini

Sunday, November 7, 2010

MISTERI DI BALIK MERAPI

Pada hari Rabu tanggal 13 Oktober 2010, YM Sultan Adji Sulaiman Raja Kutai Kertanegara ke 18 memerintah pada pertengahan abad 18, mengingatkan supaya segera melaksanakan perintah untuk ritual labuh ke puncak Gunung Merapi. Tak boleh mundur lagi. Batas akhir yang ditentukan adalah hari Jumat Legi, tanggal 15 Oktober 2010. Secara logika, pada tanggal 13 Oktober 2010 saat itu status Gunung Merapi sudah berada pada status siaga (satu tingkat di atas status waspada, satu tingkat di bawah status tertinggi awas), tak ada orang yang bersedia naik ke Merapi jika tak ingin mati konyol. Namun apa boleh buat, sudah merupakan dawuh (perintah) dari para leluhur agung, saya percaya 100% leluhur, tak ada perintah leluhur yang membuat celaka diri kita. Gaib pun tak pernah bohong. YM Sultan Sulaiman berkata,”laksanakan segera nak, tidak baik menunda perintah, karena akan melawan kodrat, jika Merapi kelamaan menahan letusan akan sangat berbahaya!. Apa yang kamu lakukan bukan untuk kepentingan dirimu sendiri, melainkan untuk kepentingan orang banyak, bangsa ini di waktu yad. Sendiko dawuh Yang Mulia, siap laksanakan segera pada hari Jumat Legi besok, demi lahirnya Satriyo Pambukaning Gapura. Kasihan rakyat sudah banyak yang menjadi korban.

Tampilnya satriyo baru, tentu membawa konsekuensi turunnya “satriyo” lama “di tengah jalan”. Musti bagaimana lagi, jika seorang “satriyo” sudah tidak disengkuyung oleh para leluhur besar dan para gaib bangsa ini, karena tiada menghargai kearifan lokal, tidak menghargai pusaka nusantara. Itu sama saja tidak berbakti kepada bangsa dan para leluhur besarnya sendiri. Alias menjadi generasi yang durhaka. Tentu saja akan selalu membawa musibah dan bencana berkepanjangan tiada berhenti. Ibarat seseorang yang sakit parah, sembuhnya kalau sudah mati. Maka, musibah dan bencana baru akan reda jika sang satriyo lama itu telah lengser keprabon. Dengan penuh maaf. Apa adanya terpaksa harus saya sampaikan.

Jumat Legi sore, ditemani 2 orang abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat kami naik ke puncak Merapi dalam cuaca hujan sangat lebat dan berkabut. Benar saja, gunung paling aktif di dunia itu seolah memberikan jeda tidak bergolak. Walau masih terasa saat tanah bergetar akibat gerakan magma dari dalam perut bumi. Kabar dari posko Merapi saat itu statusnya pun ternyata turun menjadi waspada. Gunung Merapi mirip dengan makhluk hidup, kali ini bagaikan anak kecil sedang merengek lalu tiba-tiba diam karena mendapat makanan kesukaannya. Selesai acara labuh, hingga Sabtu siang tanggal 16 Oktober tiba-tiba Merapi seperti mendapat komando, mulai bergolak lagi dengan 246 kali gempa vulkanik. Hari minggu statusnya naik kembali menjadi siaga, lalu seminggu kemudian statusnya naik menjadi awas. Perubahan status Merapi yang sangat cepat dan belum pernah terjadi selama ini.

MEMBANGUN SINERGI DENGAN KOSMOS

Sedikit set back membahas soal makna esensial ritual labuh. Ritual labuh (labuhan) atau larung sesaji bukan sekedar latah ikut-ikutan saja. Larung sesaji yang melibatkan ubo rampe dan tata cara adalah soal teknis saja. Lebih dari itu orang harus memahami hakekatnya. Yakni sebagai upaya manusia memahami dan menghormati alam semesta beserta seluruh makhluk penghuninya sebagai sesama ciptaan tuhan, derivasi kebijaksanaan alam semesta. Acara labuh sebagai salah satu wujud adanya kesadaran kosmos, yakni tanggungjawab manusia tanpa kecuali untuk selalu hamemayu hayuning bawana. Menjaga dan melestarikan alam semesta serta mengambil manfaat secara proporsional tanpa meninggalkan kerusakan. Kesadaran itu menjadikan kita sebagai sosok manusia kosmologis. Berkesadaran spiritual tinggi yang selalu selaras, sinergis dan harmonis dengan kodrat (hukum) alam semesta. Satriyo yang berjiwa kosmologis akan selalu mendatangkan berkah dan anugrah bagi lingkungan alam dan seluruh isinya. Berkah dan anugrah agung bagi keluarga, orang lain, dan masyarakat yang dipimpinnya.

Desa mawa cara, negara mawa tata. Setiap wilayah, atau lingkungan alam, memiliki tata dan cara masing-masing. Beda masyarakat, berbeda pula adat istiadat, tradisi, dan budayanya. Itulah makna kearifan lokal, yakni nilai luhur hasil interaksi manusia dengan lingkungan alamnya yang kemudian melahirkan kearifan dan kebijaksanaan. Sehingga di dalam nilai kearifan lokal (local wisdom) terkandung kesadaran akan jati diri suatu bangsa. “Jati diri” yang meliputi karakter geografi, geologi, dan karakter sosialnya. Bagi siapa yang lebih memahami “jati diri” tersebut, seseorang dapat bersikap lebih arif dan bijaksana dalam menjalani tata kosmos kehidupan ini. Alias menjadi manusia yang tunduk patuh, manembah kepada tuhan.

TIGA TITIK SENTRA SPIRITUAL

Merapi-Kraton-Laut Selatan merupakan tiga titik sentral dalam spiritual Jawa khususnya Jogjakarta yang merangkum makna AGNI-UDAKA-MARUTA (AUM). Merapi melambangkan unsur api atau agni. Merapi memiliki hakekat vertikal manembah kepada Yang Transenden. Sehingga Merapi bermakna sebagai jagad alit. Spiritual adalah urusan pribadi dalam jiwa masing-masing orang (mikrokosmos). Kraton adalah sentral atau pancer (guru sejati) yang meliputi pancer di dalam jagad alit (mikrokosmos) maupun pancer di dalam jagad ageng (makrokosmos). Laut Kidul adalah bermakna spiritual horisontal. Sedangkan Kunci gunung Merapi ialah pemegang amanat yang harus memiliki lakutama (budi pekerti luhur) sebagai penghubung antara jagad alit dengan jagad ageng. Dalam dirinya ada naar atau agni harus teratasi dengan nur atau cahyo sejati. Juru kunci bertanggungjawab menselarasakan antara perilaku alam dengan perilaku manusia. Oleh sebab itu jika juru kunci tidak mengenal alam dengan seluruh makhluk isinya akan berakibat fatal. Dapat terjadi disharmoni antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Tentu saja kekuatan alam yang akan bekerja sesuai koridor keadilannya.

GAIB TAK PERNAH BOHONG

Jika ada yang bilang gaib dapat berubah-ubah, kamuflase, dengan target untuk mengecoh pemahaman manusia, itu bukanlah kesalahan gaib, melainkan kebodohan unsur “ke-aku-an” dalam diri manusia. Yang selalu dilimput oleh imajinasi dan ilusi belaka. Senin tanggal 25 Oktober 2010 kami siap berangkat ke Balikpapan. Sejak hari Sabtu maskapai mengirim sms pemberitahuan pesawat akan didelay selama 1,5 jam. Pada hari Senin sore kami check in, kemudian bayar airport tax, dan masuk ke boarding room. Menunggu pesawat yang akan membawa kami ke Balikpapan. Jam keberangkatan tinggal 15 menit lagi, boro-boro petugas bandara mengumumkan para penumpang segera naik pesawat. Info jam berapa pesawat pengangkut kami akan tiba di bandara saja tak ada kabarnya. Hari menjelang petang, kami mulai ragu untuk melanjutkan perjalanan.

Pada saat terasa bosen menunggu pesawat, datanglah YM Sultan Sulaiman,”..nak…batalkan saja keberangkatan ke Balikpapan. Jangan sanyang uangnya yang hangus. Para leluhur juga tidak memperbolehkan berangkat saat ini. Tunda lah sejenak nak ! YM Sultan memerintahkan supaya hari Selasa Pahing besok tgl 26 Oktober 2010 marak sowan (ziarah) ke pasarean agung Kotagede, sowan Panembahan Senopati karena akan diberikan “sesuatu”. Berarti musti membatalkan tiket pesawat. Sendiko…terpaksa bagasi saya ambil kembali, tiket pun ditukar untuk jadwal hari rabu besok.

Besoknya, hari Selasa Pahing tanggal 26 Oktober 2010, kami marak sowan ke Panembahan Senopati, Nyi Ageng Enis, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Kali ini, perintah langsung dari Panembahan Senopati, dan juga perintah dari YM Sultan Sulaiman supaya sore itu pula berangkat naik Merapi ke dusun Kinahrejo rumah Mbah Marijan untuk berbagai sembako, makanan, minuman, kepada para pengungsi di sana. Ternyata sinkron dengan kejadian malam Selasa Pahing, di mana beberapa hari sebelumnya hati ini merasa tak enak, risau, khawatir campur takut jika mengingat sosok Mbah Marijan. Ada apa gerangan? Hal ini dipertegas pada malam Selasa, di mana “badan alus” mbah Marijan datang menemuiistri saya, Mbah minta supaya dimintakan uang Pak Isran (Bupati Kutim) sebanyak Rp. 700,- Kami akan turuti keinginanmu Mbah!. Uang pun segera saya dapatkan langsung dari Pak Isran. Bukankah Rp. 700,- di depannya ada unsur angka 7 (Jawa; pitu) bermakna nyuwun pitulungan (minta pertolongan) dumateng Gusti Mahawisesa. Pertolongan yang berkelipatan ratusan kali. Entah..pertolongan dalam wujud dan makna yang bagaimana, menjadi teka-teki besar.

PERINGATAN KI JURUTAMAN

Selasa Pahing sore tanggal 26 Oktober 2010 setelah selesai kami marak sowan Panembahan Senopati di pasarean Agung Kotagede, jam 16.00 WIB kami berlima berangkat menuju rumah Mbah Marijan dengan tujuan untuk berbagi sembako, oleh-oleh makanan ringan, dan menyerahkan uang Rp.700,- sesuai permintaannya. Jogja masih cerah, tetapi begitu memasuki Jl Kaliurang KM 14 cuaca di sekitar Merapi berubah diselimuti kegelapan seolah menyembunyikan sesuatu. Pukul menunjukkan 16.30 WIB suasana terasa misterius dan mencekam, tiba-tiba menjadi sangat gelap seperti sehabis magrib. Lalulintas menuju Kaliurang macet, padat merayap. Sesampai di Umbulharjo Kec Hargobinangun, jalan menuju Mbah Marijan sudah ditutup rapat oleh aparat. Tak ada lagi kendaraan boleh naik. Tapi kami merasa ada beban batin yang sangat berat jika gagal naik bertemu Mbah Marijan. Lalu saya bilang ke aparat mau mengantarkan pesanan Mbah Marijan dan menjemput Mas Asih putra Mbah Marijan, dan lajulah kendaraan mendaki jalan aspal tanjakan terjal menuju Kinahrejo rumah Mbah Marijan yang jauhnya masih 2 km, atau kurang dari 4 km dari kawah Merapi. Asap sulfatara mulai tercium menyengat, campur aduk antara aroma belerang, mesiu, infus, bau seperti asap ledakan petasan sudah sangat keras menyengat lubang hidung membuat nafas terasa sesak. Di tengah jalan kami sempat diberi peringatan oleh Ki Jurutaman, penjaga gaib Gunung Merapi dari sisi Jogja. Ki Jurutaman menjulurkan telapak tangannya. Lima jari yang terjulur kami maknai dengan dua peringatan. Pertama, mencegah supaya jangan naik karena sangat berbahaya. Kedua, jika nekad naik pun sampai rumah Mah Marijan hanya diberi waktu 5 menit. Baiklah Ki… saya berterimakasih atas peringatan yang diberikan.

PERTEMUAN TERAKHIR

Sesampai di rumah Mbah Marijan, begitu pintu mobil terbuka terasa hawa agak panas dengan bau belerang, infus, messiu dan sangit. Saat itu sempat terdengar sekali dentuman menggema cukup menggetarkan tanah. Kami berlima berbegas segera menurunkan barang-barang bantuan pengungsi. Masuk ke ruang tamu ada Mbah Marijan menyambut, tetapi hanya sedikit canda tawa, tidak seperti biasanya walaupun dalam sikond yang genting. Kali ini tampak wajah agak pucat dan sedikit menampakkan kegelisahan mendalam. Kami menurunkan sembako, kue, biskuit dll agar bisa digunakan bilamana diperlukan bersama penduduk setempat pada saat situasi darurat. Mbah Marijan berucap yang mengandung firasat,”wah..kok kathah sanget mangke mboten wonten ingkang nedhi”. Duh kok banyak sekali nanti tak ada yang makan. Saya jawab,”nanti Mbah bakal banyak kedatangan tamu”.

Berikut ini translate dialog bahasa Jawa saat-saat terakhir bersama Mbah Marijan di rumahnya Dsn Kinahrejo kurang dari 4 km dari kawah Merapi.

Mbah Marijan (MM)

Saya dan Istri (S)

S; Mbah…… saya ke sini untuk menyerahkan uang yang Mbah Marijan minta tadi malam sebanyak Rp. 700,- sesuai permintaan Mbah. Pitung-atus gelo Mbah, supaya mendapat pitu-lungan (pertolongan).

MM; O inggih matur sembah nuwun. Lha pitulungan saking sinten ?

S; Pitulungan saking Gusti sing nggawe urip Mbah !

MM; Inggih kula tampi matur nuwun. Uang receh Rp.700,- dalam amplop dipegang-pegang. Mbah panggil anak menantunya, “Mur… iki (uang Rp.700,-) wenehno mbah putri wae !.

S; Lho Mbah…(uang) niku kangge Mbah, lak panjenengan wau dalu to sing nyuwun piyambak. Duwite receh dilebokne sak mawon Mbah. (Lho Mbah, uang itu untuk Mbah, bukankah mbah tadi malam yang meminta sendiri. Uang receh 700 rupiah (logam) itu dimasukkan saja di saku, jangan diberikan kepada siapa-siapa). Mbah Marijan cuma tersenyum sambil ke tiga jarinya menutupi mulut, dengan gayanya yang kocak. Namun uang 700 rupiah tetap di serahkan kepada mBak Mur (menantu perempuan Mbah Marijan) minta supaya diserahkan kepada Mbah Marijan Putri.

Sejenak kami diam tak bereaksi apapun, hanya tercenung dalam batin penuh rasa khawatir kepada Mbah Marijan. Pada saat hening pukul 17.45 WIB tiba-tiba terdengar lagi dentuman keras berasal dari arah kawah Gunung Merapi yang hanya berjarak kurang dari 4 km (areal berbahaya berjarak sampai radius 10 km dari kawah). Tak lama hawa terasa berubah begitu sesak, bau udara tiba-tiba seperti bercampur asap mesiu terakar, belerang, dan infus lebih kuat dari sebelumnya.

TAMU TERAKHIR YANG HIDUP

Di ruang tamu tinggal kami berlima, dengan Mbah Marijan dan (Mas Iwan) satu orang wartawan Vivanews. Istri saya berkata kepada Mbah Marijan yang terakhir kalinya;”Mbah..bener enggak mau turun bersama kami? Mbah Marijan menjawab,”..o injih..mangke Jam 12 malam”, sergahnya. (Ya, nanti jam 12 malam!). Tiba-tiba Ki Jurutaman datang lagi, dan hanya berucap singkat,’mandap sakniki ! Injih ! (turunlah sekarang juga!). Rokok yang hampir saja saya nyalakan langsung saya matikan. Istri saya bilang, sekarang juga kita turun, waktunya 5 menit !! Tanpa berlama-lama lagi, kami berlima pamitan Mbah Marijan yang saat itu mengenakan kemeja batik kuning gading dengan motif berwarna hijau dan hitam dan mengenakan sarung kotak-kotak hitam bitu putih.

PERCAKAPAN TERAKHIR

S; Kalau begitu saya harus turun sekarang Mbah !!

MM; Waduh…lha kok Cuma seperti mimpi. Mbok nanti…temani saya dulu.

S: Maaf Mbah…tempat ini tidak akan selamat…Ki Jurutaman sudah menyuruh kami turun. Ayolah Mbah.

MM; Mbah Marijan hanya tersenyum kecil dan merangkul saya…

S; Dalam hati saya seperti mau menangis…saya merasa kuat sekali ini akhir dari pertemuan kami. Akhir dari sejarah “persahabatan lahir” kami dengan Mbah Marijan. Serasa ada yang berhenti di kerongkongan. Saya tak tega melihat wajah Mbah Marijan. Saya hanya bisa mengelus punggungnya sambil berkata,”…Mbah…awake dewe donga-dinonga andum slamet nggih !!! Mengko bar Merapi rampung hajate, tak anter makanan sing enak kangge Mbah Marijan. (Nanti setelah Merapi hajatnya selesai, akan saya kirim makanan yang enak untuk Mbah Marijan).

S; Saya salami dan ajak seorang wartawan,”Mas…ayo ikut turun sekarang..tak akan selamat di sini !!. Ia hanya tersenyum kecil dan menunduk. Saya tak ada waktu berlama-lama.

MM; Di luar masih banyak orang ada sekitar 9 mobil parkir di halaman rumah Mbah Marijan. Mbak Mur..menantu Mbah Marijan tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tamu…,”Mbah…ayo keluar sebentar saja ! Sebentar saja ! Mbah Marijan ikut keluar bersama Mbak Mur. Keluarga Mbah Marijan yang lainnya sudah dibawa mengungsi semua.

S; Di halaman ada 8 mobil tersisa. Ternyata 7 mobil adalah tamu Mbah Marijan yang baru datang. Mbah Marijan tak mau menemui tamu lagi. Ia ngeloyor ke masjid tak jauh dari rumahnya. Istri saya terpaksa menyuruh para tamu yang baru datang untuk segera turun lagi karena sudah sangat berbahaya.

EVAKUASI DIRI

Para tamu dengan 7 mobil akhirnya turun bersama-sama melalui jalur bawah. Sempat mengantri untuk keluar dari halaman. Saya ambil jalur yang naik ke arah Merapi, karena tak ada satupun kendaraan yang melewati sana. Di dusun paling tinggi dan paling dekat dengan Merapi yakni Blimbingsari sudah tak ada lagi orang tersisa. Sepi sunyi kabut asap sulfatara sangat tebal dan begitu mencekam. Nafas menjadi sesak. Kap mesin mobil sudah mulai kejatuhan kerikil dan pasir vulkanik. Tapi kendaraan kami tak bisa laju karena terhalang asap tebal. Pasrah. Tanah seperti bergetar bagaikan irama telapak kaki raksasa. Benar saja..di belakang kami ada Ki Jurutaman mengiringi langkah evakuasi kami. Wajar saja, Ki Jurutaman tingginya sekitar 10 meter dengan tubuh tegap dan wajah yang lumayan cakap. Setelah tersendat karena pandangan jalan kadang tak tampak, sementara sebelah kanan dan kiri ada jurang, kami terpaksa berjalan sangat lambat. Di bawah tampak orang berlarian..sementara mobil-mobil dan truk evakuasi penuh penumpang melaju ke bawah menjauhi Merapi dengan kecepatan tinggi.

Sesampai di bawah bertemu Posko Pertama hanya ada para petugas tim SAR, tentara dan aparat keamanan yang sudah siap evakuasi diri pula. Sampai di Posko pertama (8 km dari Merapi) kira-kira hanya 15 menit sejak meninggalkan rumah Mbah Marijan, kami mendapat bayangan gaib, dusun Kinahrejo tempat rumah Mbah Marijan berada telah di sapu awan panas hingga porak poranda. Jika dicocokkan waktunya ternyata tepat dengan kejadiannya.

JANJI KI JURUTAMAN

Banyak orang yang mengaku bersahabat dengan Merapi. Tetapi ironisnya, ia tak kenal dengan Ki Jurutaman. Padahal Gunung Merapi dengan penjaga gaibnya bernama Ki Jurutaman adalah dua makhluk tuhan yang bisa dipisahkan. Ki Jurutaman dulunya adalah abdi dalem (pembantu) setia Panembahan Senopati (1550-1630) yang secara tak sengaja makan “telur jagad” dari Kanjeng Ratu Kidul sehingga tubuhnya berubah menjadi tinggi dan besar. Entah sejak kapan tepatnya, kemudian Ki Jurutaman diutus menjadi menjaga Gunung Merapi agar supaya letusan tidak mengenai wilayah (Kraton) Jogjakarta. Sejak tahun 1600 terbentuklah perbukitan di lereng Merapi sebelah selatan. Dinamakan glacap gunung atau punggung gunung. Masyarakat kemudian memberi nama sebagai GEGER BOYO (punggung buaya) karena memang bentuknya mirip dengan punggung buaya. Geger boyo ini nyambung dengan bukit Turgo yang juga berfungsi sebagai penahan guguran lava pijar ke arah Jogja.

Namun seperti di tulis dalam serat Jongko Joyoboyo, bahwa kelak Ki Sabdopalon dan Ki Noyogenggong berjanji akan datang kembali untuk memberi pelajaran bagi orang Jawa (nusantara) yang hilang kejawaannya (tidak memahami jati diri bangsanya). Tanda kedatangannya antara lain runtuhnya GEGER BOYO Merapi. Sebelum tahun 2006 abu vulaknik Merapi tak pernah mencapai kota Jogja. Namun sejak tahun 2007 debu vulkanik benar-benar mulai dapat menjangkau kota Jogja (Jalan Gejayan). Peristiwa itu benar-benar terjadi hanya sepekan setelah gempa Jogja pada 27 Mei 2006 yang lalu.

PERTEMUAN PERTAMA DENGAN KI JURUTAMAN

Pada bulan November 2005 kami pertamakalinya bertemu dengan sosok Ki Jurutaman sewaktu berlibur di Kaliurang. Ki Jurutaman sudah hidup di alam sejati, ia tahu mana yang bener dan pener. Setiap apa yang dikatakannya begitu bijaksana dan penuh kandungan makna kehidupan yang sangat dalam.

Hanya sebatas perkenalan dan sempat kami berbincang singkat dengan Ki Jurutaman. Saya mendapat kesimpulan bahwa Ki Jurutaman sudah berusaha untuk bersabar selama ratusan tahun, tapi kini ia telah sampai pada patas akhir dari kesabaran. Selaras dengan komando Ki Sabdopalon dan Noyogenggong bahwa kini saatnya manusia Jawa sudah harus diberi pelajaran. Maka Ki Jurutaman pun telah enggan menjaga Jogja dari letusan Gunung Merapi karena kecerobohan ulah manusia sendiri. Masyarakat telah melanggar wewaler atau pantangan. Melanggar wewaler sama halnya merusak keharmonisan kosmologis, alias bertentangan dengan hukum alam yang seharusnya manusia saling menabur welas asih dan saling menghargai kepada seluruh makhluk tanpa kecuali. Banyak orang mabok agomo lan donga, tidak memahami hakekat sejatinya hidup. Sudah banyak yang kajawan, hilang hakekat kejawaannya. Ki Jurutaman hanya bilang ,”…wis mongso bodo-a ngger ! Sudahlah…terserah kalian saja aku nggak bisa menjaga lagi. Bebendu pasti akan datang tanpa bisa dicegah, kecuali yang selalu eling dan waspada. Orang-orang yang setyo budya, selalu ngugemi paugeran. Itulah wong-wong kang kenceng anggone gocekan waton. Kapan bebendu bagi masyarakat Jawa yang telah berkhianat (durhaka) kepada alam dan para leluhurnya sendiri, yakni dimulai dengan lindu gede (gempa besar) dengan tumbal ribuan nyawa.

Benar saja, tanggal 27 Mei 2006 gempa dahsyat menghancurkan wilayah Jogja, Klaten, Sleman, Bantul, sebagian wilayah Kulonprogo, Gunung Kidul dan sekitarnya. Sebanyak hampir 8000 nyawa melayang dalam waktu hanya 15 detik.

KI JURUTAMAN SANG PENYABAR

Telah sekian lamanya Ki Jurutaman memendam rasa kecewa. Baik terhadap Kraton yang melanggar paugeran. Bukankah ada paugeran bahwa Ratu Gung tak boleh jadi walang kaji. Tetapi kenyataannya telah terjadi pelanggaran itu. Apalagi syarat utama seorang JURU KUNCI adalah harus kenal, bisa srawung, dengan penjaga gaibnya. Adalah salah kaprah anggapan orang bahwa Juru Kunci Merapi adalah orang yang menjadi penjaga Merapi. Bukan itu maksudnya. Juru Kunci adalah ibarat “penyambung lidah” antara masyarakat gaib dengan masyarakat wadag. Bagaimana bisa terjadi komunikasi yang harmonis bila seorang Juru Kunci tidak mengenal dengan pimpinan masyarakat gaib. Padahal masyarakat gaib adalah tetangga kita di manapun berada yang harus kita hargai sebagai sesama mahluk hidup. Manusia mendem agomo terbiasa nglakoni mentang-mentang merasa paling, sehingga tanpa disadarinya ucapan, sikap dan perbuatannya terkadang sangat melecehkan masyarakat lain dimensi. Inilah sumber malapetaka, berasal dari sikap adigang adigung adiguna manusia sendiri. Banyak orang tak tahu apa-apa tetapi merasa dirinya tahu segala hal, sehingga mudah sekali mendiskreditkan orang lain. Salah dianggap benar, benar dianggap salah. Terjadi wolak-waliking jaman.

Sekian lama Ki Jurutaman menjadi obyek penderita dan selalu bersabar. Semakin luntur rasa welas asih masyarat karena terkena dampak berbagai doktrin dan dongeng. Dan saat ini Ki Jurutaman telah tak mampu lagi menahan kesabarannya. Ki Jurutaman marah besar. Hingga mengerahkan ribuan Banaspati bersama serangan awan panas dan lava pijar, yang meluluhlantakkan segala sesuatu yang dilewatinya. Ia tidak lagi mau menjaga (Kraton) Jogja dan masyarakat kereng Merapi dari letusan Gunung Merapi. Tanggal 29 Oktober 2010 hari Sabtu dini hari (jam 00.45 wib) Merapi kembali meletus lebih dahsyat selama 30 menit lebih. Abu vulkanik benar-benar membuat sejarah baru mencapai kraton Kraton dan wilayah kota Jogja, bahkan hingga mencapai laut selatan. Ini kejadian yang sangat langka, jika tak bisa dikatakan belum pernah terjadi. Sekaligus menjadi peringatan besar, sekaligus sebagai bahasa alam yang mengisyaratkan teguran terhadap sikap dan kebijaksanaan manusia yang semakin ceroboh dan kacau. Di mana sikapnya menjadi cerminan akan rendahnya kadar kesadaran spiritual manusia.

PERTEMUAN DUA KEKUATAN BESAR

Makrokosmos adalah makhluk hidup pula. Atau setidaknya pernah hidup dan kini hidup dalam fase-fase selanjutnya. Apapun wujud makhluk, jika manusia mensia-siakan, pastilah akan menuai celaka. Hari Jumat tanggal 29 Oktober 2010 setelah saya mengantar pulang Pak Bupati Bulungan ke Bandara Adisucipto, sewaktu pulang di tengah jalan melihat naga bumi yang bagi masyarakat umum sekilas tampak seperti awan berbentuk naga. Naga bumi dengan mulut menganga dan bertanduk, bergerak cepat dari selatan (laut kidul) ke arah utara bersatu dengan awan raksasa yang berada di samping Merapi. Peristiwa ini hanya terjadi sekitar 5 menit dengan disaksikan semua orang yang berada di dalam kendaraan kami. Setelah itu muncul awan pertanda akan terjadi bencana besar dengan korban yang cukup besar pula. Jika disimpulkan, dua kekuatan besar yakni dari laut selatan (naga bumi) dan gunung berapi (baru-klinting di bawah komando Ki Jurutaman) bergabung untuk membangun kekuatan besar yang dapat menggegerkan jagad Jawa. Awan yang mengisyaratkan bencana dengan korban banyak masih akan terjadi. Dengan kata lain 38 nyawa korban Merapi belumlah cukup.

Saat itu Ki Jurutaman sempat memberikan sinyal yang dapat kami tangkap seperti di bawah ini ;

  1. “Hajatan” Gunung Merapi sebagai ekspresi kemurkaan Ki Jurutaman atas penghianatan manusia Jawa, yang telah hilang kejawaannya. “Hajatan” akan berlangsung selama 35 hari. Terhitung sejak hari Selasa tanggal 26 Oktober 2010.
  2. Kemurkaan Ki Jurutaman adalah hukum keseimbangan alam di mana telah terjadi ketidakselarasan antara “langkah” manusia dengan “hukum alam semesta”.
  3. Terjadi ketimpangan “karakter”, perilaku, behavior, antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Sehingga terjadi kondisi di mana terdapat kecenderungan antagonis antara wujud alam yang berbeda namun unsurnya berasal dari materi yang sama.

Bergabungnya dua kekuatan besar tentu akan membawa karakter berbeda dari letusan-letusan Merapi sebelumnya. Merapi memang selalu menyimpan beribu misteri. Kraton Jogja pun sebagai soko guru spiritual kosmologis keadaannya kian terpuruk. Walaupun seandainya menyadari apa yang terjadi dan tahu harus bagaimana. Toh jika memberikan perintah kepada masyarakat pun tak digubris. Dalam kondisi alam seperti ini, jikalau masyarakat diperintah untuk selalu membuat teh dan kopi tubruk setiap hari dan disajikan di ruang tamu mungkin dianggap sia-sia. Sebagian masyarakat malah menganggapnya sebagai tahyul dan mitos belaka seperti ungkapan presiden SBY tempo hari. Anda percaya atau tidak, musibah dan bencana baru akan reda jika SBY turun tahta. Silahkan ditunggu, dan dicermati, agar bisa membuktikan ucapan ini. Toh paling lama, tahun 2012 SBY akan lengser keprabon.

SOSOK MISTERIUS

Selain unpredictable, kali ini Merapi merubah karakter tidak seperti biasanya. Setiap Gunung Merapi mau meletus selalu menyelimuti dirinya dengan awan dan mendung. Awan pun selalu menyebar ke segala penjuru. Sehingga puncak Merapi tak dapat diamati dengan mata wadag. Arah guguran lava pijar dengan tebaran abu vulkanik sulit diprediksi dengan berbagai teknologi canggih. Kadang terjadi kontradiksi di antaranya. Guguran lava mengarah ke selatan, tetapi abunya ke utara dan timur. Sementara angin yang bertiup dari arah timur dan selatan. Tahu-tahu awan panas menyapu beberapa wilayah dengan kecepatan tinggi. Satu jam sebelum meletus, bahkan Merapi tampak sangat tenang. Bahkan seringkali tidak didahului tanda meningkatnya gempa vulkanik terlebih dulu sebelum meletus.

Lain dari letusan-letusan sebelumnya, bagi masyarakat awam kali ini terdapat keanehan, setiap yang dilewati tidak sekedar hangus, namun porak poranda, rumah-rumah hancur lebur, pohon-pohon besar dan kecil tumbang. Namun selalu saja, pendapa tempat acara ritus sakral yang hanya berjarak 1 km di bawah kawah Merapi tetap utuh dan selalu terjaga dari terjangan awan panas. Sebenarnya bukanlah hal aneh, jika anda semua berusaha konsentrasi hening batin akan menyaksikan sendiri, terjangan awan panas (wedhus gembel) bukanlah sekedar debu vulkanik berwarna coklat kemerahan dengan suhu 700-800 derajat. Namun tampak puluhan bahkan ribuan makhluk semacam banas pati (raksasa kecil dengan wujud api) yang seolah mencari mangsa dengan ganasnya.

Banaspati dari unsur api, tidak berbenturan dengan segala sesuatu unsur tanah. Bahkan unsur api hanya bisa diredam oleh unsur tanah. Makan rumus keselamatan dimaknai apabila manusia selalu eling dan waspada, dengan cara mulat laku jantraning bumi. Manusia yang membangun sifat seperti bumi. Lembah manah (rendah hati), andap asor (santun), selalu menebar berkah kepada siapapun yang ada di sekelilingnya, baik makhluk hidup, tak hidup, manusia, binatang, dan tumbuhan. Sekalipun diinjak-injak tetap saja memberikan berkah kepada seluruh makhluk tanpa kecuali dan tanpa pernah pilih kasih. Sementara itu Banaspati adalah gambaran sifat angkara murka. Sifat panasten, iri hati, buruk sangka, suka marah-marah (bahkan sampai mengklaim sebagai mewakili kemarahan tuhan). Sifat Banaspati ini akan sirna jika manusia telah menyerap sifat-sifat bumi (tanah). Itulah pelajaran dari alam semesta sebagai “ayat-ayat” yang tersirat, disebut sebagai sastrajendra. Papan tanpo tulis. Ilmu sejati yang tidak ditulis dalam buku. “Kitab universal” yang sesungguhnya dapat menjadi pegangan manusia sejagad tanpa pengecualian suku, budaya, dan agama.

Nagabumi adalah makhluk tuhan retasan alam semesta juga. Mereka mewakili unsur bumi, karena memang hidupnya menyatu di dalam kedalaman tanah. Nagabumi dapat mewakili ketidakterimaan alam semesta atas ulah manusia yang begitu cerobohnya, sehingga jebol lah lumpur Lapindo di Sidoarjo akibat amukan Nagaraja (jantan) karena tidak terima Nagagini (betina) tertancap mata bor pada saat pengeboran gas oleh PT Lapindo Brantas. Nagabumi adalah bagian dari “masyarakat” Kraton Pantai Laut Selatan, yang dipimpin oleh entitas widodari yang turut menjaga keseimbangan makrokosmos. Di Gunung Lawu sana ada entitas bidadari pula yang selalu ngrekso hargo bernama Dewi Untari atau Dewi Nawang Sari anak putrinya Dewi Nawang Sih. Tentu saja, hal-hal sepeti ini bagi yang tidak pernah menyaksikan kebesaran gaib seolah hanya sekedar dongeng kibulan.

Kini nagabumi dan banaspati telah bergabung melakukan show off force. Paling tidak berbagai peristiwa ini dapat menyadarkan diri kita bahwa kita bertetangga dengan ragam kehidupan yang sangat kompleks. Jadi jangan lah mentang-mentang selalu RUMONGSO BISO. Tetapi jadilah manusia yang BISO RUMONGSO.

TAHYUL ITU APAKAH SEPERTI INI

Selama kurang dari seminggu Merapi tiap hari meletus. Tiga kali pula dalam seminggu, kami harus relakan tiket hangus karena membatalkan keberangkatan menuju Kaltim untuk laksanakan tugas dan pekerjaan berat. Akhirnya, pada hari sabtu malam minggu, salah satu leluhur Ki Ageng Mangir Wonoboyo sehabis menggembleng cucu canggahnya di puncak Merapi yang masih sangat panas itu, beliau sekalian bertemu Ki Jurutaman. Mbah Mangir minta supaya Ki Jurutaman meredam Merapi sejenak, karena anak turunku mau pergi ke Kaltim, jangan sampai ada abu dan awan panas yang menganggun perjalanan (pesawat) menuju Kaltim. Kata Mbah Mangir, tadi Ki Jurutaman sudah bilang sendiko dawuh. Kata Ki Jurutaman, meletus yang lebih besar lagi nanti setelah kembali di Jogja lagi. Kenapa begitu, karena biar konsentrasi kami pada acara besar di Kaltim tidak terganggu. Karena kalau Merapi meletus besar kami selalu memikirkan nasib dan keselamatan sanak sodara, handai taulan, teman yang berada di Jogja. Mudah-mudahan perjalanan besok pagi (Senin 1 November 2010) benar-benar terlaksana tidak terancam batal lagi.

Wah, kirain dongeng atau khayalan tahyul saja. Ternyata gaib memang tak pernah bohong. Begitu mendarat di Sepinggan Balikpapan jam 11 Wita (jam 10 Wib), sebentar kemudian dengar kabar Merapi meletus cukup besar jam pada jam 10.05 Wib. Hari Rabu 3 Nov kami harus segera kembali ke Jogja. Turun dari pesawat jam 10.30 Wib. Tak lama kemudian jam mulai 11 status Merapi kembali mengalami krisis hingga terjadi letusan dengan skala 3 kali lebih besar dari pada hari selasa 26 Oktober kemarin. Masih beruntung, hujan lebat mengguyur seputar Merapi hingga di daratan menimbulkan banjir lahar dingin yang mengerikan. Sementara di atas sana beterbangan awan panas yang tengah mencari mangsa. Matur sembah nuwun Ki Juru.

Apa kata Ki Jurutaman? Ia bilang letusan Merapi masih lama baru akan berhenti. Setidaknya akan memakan waktu selapan dino (35 hari). Meletus dahsyat tanpa bisa disaksikan dengan mata wadag. Merapi tidak lagi seperti dulu suka pamer lava pijarnya yang sangat indah sekaligus mengerikan. Kini Merapi selalu membuat “serangan” secara tersembunyi di balik mendung dan kabut tebal. Melalap ke segala penjuru. Sepertinya, erupsi kali ini benar-benar merepresentasikan batas kesabaran alam yang telah sekian lamanya dipertahankan. Bagaimanapun juga Ki Jurutaman adalah entitas manusia, yang kesabarannya masih ada batasnya. Siapakah yang keterlaluan? Tentu saja bukan Ki Jurutaman, melainkan ulah manusia yang memang sudah benar-benar di luar batas peri kemanusiaan. Baik pejabat, tokoh masyarakat, tokoh religi, maupun rakyat jelatanya. Ini baru permulaan. Oleh sebab itu, tak lama lagi si komandan gunung api akan melakukan letusan jauh lebih dahsyat lagi. Jangan kaget jika sudah tiba waktunya, radius 30 km pun bukan merupakan daerah aman dari terjangan awan panas. Saat kami menulis kisah ini, tercium bau bangkai dan darah yang gosong terbakar. Bau-bau misterius mirip seperti saat 1 jam menjelang dusun Kepuh Harjo, Kinah Rejo, Blimbing Sari sebelum luluh lantak diterjang awan panas. Semoga bau ini bukan lah pertanda Merapi masih akan makan korban lebih banyak lagi.

FENOMENA AWAN PETRUK

Petruk adalah salah satu Punakawan. Di antara para punakawan yang lain misalnya Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Setelah sesepuh Punakawan Ki Lurah Semar (Ki Sabdopalon) moksa karena enggan mengikuti perpindahan kepercayaan rajanya Brawijaya V. Lantas sebelum moksa Ki Lurah Semar berjanji kelak setelah 500 tahun lebih sedikit (terhitung sejak abad 15) akan “menagih janji” untuk mengembalikan kejayaan nusantara seperti pada masa kejayaan Majapahit. Diyakini Petruk Kanthong Bolong adalah sang punakawan yang akan datang “menagih janji” kepada para pemimpin dan nusantara.

SUMATERA BELUM USAI BERDUKA !

Teruntuk para sedulur berada di wilayah Sumatra Barat sana. Gempa dan stunami Mentawai barulah sekedar warning atau peringatan dini. Seperti sudah ada dating saja sebelumnya. Selasa Pahing tanggal 26 Oktober 2010 adalah waktu yang hampir bersamaan meletus lah Merapi di Jogja-Jateng dan gempa-tsunami di Mentawai. Kami tetap selalu memohon dan melakukan ritual sebisa kami lakukan untuk keselamatan kita semua di negeri ini. Semoga gempa dan tsunami sudah tidak akan menyapu wilayah Sumatra Barat. Dan Merapi tidak meletus lebih besar lagi. Walau harus ku akui, sangat terasa permohonan kami begitu hambar. Karena sulit sekali menutup gejolak perasaan hati ini. Puncak bencana belumlah berakhir. Nuwun sewu saya harus sejujurnya mengatakan,“apalagi selama pak presiden masih duduk di tahta nusantara. Para leluhur dan masyarakat gaib pun telah enggan. Maaf kata, bahkan restu leluhur pun hanyalah dianggap tahyul. Nah..inilah kekalahan manusia dari insting binatang yang lebih tahu tentang kearifan lokal. Kesadaran manusia masih dibawah kesadaran kosmos para sedulur binatang. Binatang tahu kapan Merapi akan meletus. Kapan akan terjadi gempa dan tsunami. Binatang lebih tahu kapan mereka harus turun menjauhi kawah Merapi, atau harus lari ke bukit menjauhi hempasan gelombang tsunami. Mari kita berguru saja kepada binatang.


sumber : http://sabdalangit.wordpress.com